Wednesday 9 September 2009

GAHARU

Gaharu adalah tanaman langka yang dilindungi.
Sehingga Indonesia sudah kena peringatan CITES, apendix II.
Bagaimana upaya kita untuk menyelamatkan gaharu dari bumi Indonesia ini?
Yang dulu tumbuh subur, namun sekarang sudah sangat susah untuk menjumpai nya.
Dari jaman dahulu juga Indonesia sudah mengenal system export import, hanya saja cara nya yang masih sangat sederhana. Mungkin nenek moyang kita dengan system barter. Misal, dengan bangsa Tar tar, gaharu barter dengan tembikar atau guci. Dengan bangsa Timur tengah, barter dengan Minyak wangi atau sejenis nya.


Padahal, gaharu ini juga adalah sumber bibit minyak wangi. Melihat potensi yang ada, mengapa bangsa ini tidak melirik peluang yang ada. Dengan ber niaga gaharu, dampak positip nya akan memakmurkan masyarakat. Juga mewarisi perniagaan nenek moyang, yang jaman itu adalah jaman kegemilangan Indonesia kuno. Mengapa tidak meneruskan profesi nenek moyang yang gemah ripah loh jinawi, boleh disebut: Baldatun Toyyibatun Warobbun Ghofur.

Mari meminjam catatan sejarah sejenak.
Pada tahun 695 Masehi, musafir China bernama I tsing mencatat perjalanan nya. Di negeri Sri wijaya telah ada masyarakat berniaga kayu gaharu ini untuk di jual kepada bangsa Mongolia dengan angkutan kapal perang melayu.
Juga dengan para saudagar dari Gujarat dan Parsi dari Timur tengah.
I tsing ada di kota Palembang papa waktu itu ketika hendak belajar agama Budhis, karena Palembang pada waktu itu pusat pendidikan agama Budhis.

Di Asahan sendiri, nenek moyang orang Asahan juga sudah meniagakan gaharu ini sejak tahun 1451 Masehi. Orang Batak dari Porsea, dari rumpun marga Marpaung dan Hutagalung membawa dari Porsea turun gunung melalui sungai Asahan menuju dermaga Tanjung Balai. Sampai disana dijual ke para pedagang Gujarat dan Parsi juga orang orang Mongol yang ada di selat Malaka, ketika berlayar dari negeri nya. Tersebutlah Datuk Sailan, seorang saudagar gaharu, yang berasal dari rumpun marga Marpaung tadi, menjadi saudagar di Tanjung balai ketika itu.

Berarti para nenek moyang sudah sangat mengenal kayu gaharu ini dengan sebutan aneka bahasa. Orang batak bilang: Hau Alim. Minang: Kayu Kareh, Melayu: Depu atau Karas. Nah, dari aneka bahasa di nusantara ini, membuktikan gaharu sudah dikenal masyarakat nusantara. Mengapa kita para cucu moyang orang nusantara sama sekali 99% tidak mengenal lagi apa itu gaharu. Padahal ini sangat punya nilai historis, ekonomis, upacara agama atau adat, dan budaya.

Ayo, dari cerita diatas, kita bersama sama untuk membangun nusantara / Indonesia ini dengan menghijaukan gaharu di bumi pertiwi ini.
Bersama menciptakan lingkungan yang asri, juga masyarakat yang sejahtera.

Amin.

No comments:

Post a Comment