Tuesday 8 September 2009

Gaharu: Hasil Hutan Bukan Kayu yang menjadi primadona.




Gaharu merupakan salah satu komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang cukup handal, terutama bila dilihat dari harga yang sangat istimewa bila dibandingkan dengan HHBK lainnya. Nilai jual tinggi gaharu adalah mendorong orang untuk menggunakannya. Sebagai contoh, pada awal tahun 2001, di Kalimantan Timur, tepatnya di Pujangan (Kayan) harga gaharu dapat mencapai Rp. 600.000, - per kilogram. Pada tingkat ritel di kota-kota besar harga pasti lebih tinggi juga. Kontribusi gaharu pendapatan devisa juga menunjukkan grafik tumbuh. Menurut Pusat Statistik, rata-rata nilai ekspor gaharu dari Indonesia tahun 1990-1998 berjumlah US $ 2 juta, dan pada tahun 2000 meningkat menjadi US $ 2,2 juta.
Gaharu dikenal karena aromanya yang khas dan dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti parfum, penyegar udara, kemenyan (doa pelengkap agama Buddha & Konghucu), obat-obatan, dan sebagainya.
Orang biasa seringkali mengaburkan istilah gaharu dengan pohon gaharu. Menurut SNI 01-5009.1-1999 didefinisikan sebagai semacam kelembak dalam berbagai bentuk dan warna yang unik, dan mengandung kadar damar wangi yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami dan meninggal sebagai akibat dari suatu infeksi proses penyakit baik secara alami atau buatan dalam spesies pohon, yang umumnya terjadi pada pohon Aquilaria sp. (Nama lokal: Karas, Alim, Garu dan lain-lain).

Gaharu diperdagangkan dalam berbagai bentuk, yaitu dalam bentuk blok, keripik dan bubuk. Formulir Benjolan dapat berupa sebuah patung atau bentuk unik (natural sculpture) atau tanpa bentuk sama sekali. Demikian pula, warna, bervariasi dari dekat putih ke coklat gelap atau hampir hitam, tergantung pada tingkat dan mengandung damar wangi dengan sendirinya akan semakin wangi atau kuat aroma yang dihasilkan. Aloe warna umumnya digunakan sebagai dasar dalam menentukan kualitas gaharu. Semakin hitam / warna gelap, semakin tinggi kandungan damar wangi, dan akan semakin tinggi nilai jual kembali. Umumnya hitam / hitam warna gaharu, menunjukkan proses infeksi yang lebih tinggi, dan semakin kuat aroma yang dihasilkan. Tapi warna dan aroma bimbingan itu tidak mutlak, karena dalam kenyataannya, warna ini dapat ditipu dengan penerapan pewarna, sedangkan aroma dapat ditipu dengan mencelupkan gaharu ke dalam destilat gaharu. Sehingga hanya pedagang yang berpengalaman dan telah lama dalam perdagangan gaharu sajalah yang dapat membedakan antara gaharu berkualitas tinggi dengan kualitas yang lebih rendah (kemedangan).

Di Indonesia, gaharu yang diperdagangkan secara nasional masih dalam bentuk potongan, keripik atau bubuk gaharu. Masyarakat tidak tertarik untuk memproses informasi lebih lanjut gaharu, misalnya dalam bentuk produk olahan seperti destilat gaharu, parfum, sumpit, dll, yang akan lebih meningkatkan nilai jual kembali.
Gaharu dihasilkan oleh pohon-pohon terinfeksi yang tumbuh di daerah tropis dan memiliki genus Aquilaria, Gyrinops dan keseluruhan Gonystilus termasuk dalam keluarga Thymelaeaceae. Marga Aquilaria terdiri dari 15 spesies, tersebar di daerah tropis Asia dari India, Pakistan, Myanmar, Laos, Thailand, Kamboja, Cina bagian selatan, Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Enam di antaranya ditemukan di Indonesia (A. malaccensis, A. microcarpa, A. hirta, A. beccariana, A. cumingiana dan A. filarial). Keenam spesies yang ditemukan hampir di seluruh kepulauan Indonesia, kecuali Jawa, Bali dan Nusa Tenggara. Gonystilus klan memiliki 20 spesies, tersebar di Asia Tenggara dari Malaysia, Semenanjung, Sarawak, Sabah, Indonesia, Papua Nugini, Filipina dan Kepulauan Solomon dan Nikobar. Spisies Sembilan dari mereka berada di Indonesia, yaitu: di Sumatera, Kalimantan, Bali, Maluku dan Irian Jaya. Gyrinops klan memiliki tujuh spesies. Enam dari mereka tersebar di kawasan timur Indonesia, dan satu spesies yang ditemukan di Sri Lanka.
Penyebab infeksi (yang menghasilkan gaharu) pada pohon penghasil gaharu, sampai hari ini masih diamati. Namun, para peneliti menduga bahwa ada 3 elemen penyebab proses infeksi pada pohon penghasil gaharu, yaitu (1) infeksi karena jamur, (2) cedera dan (3) proses non-phatology. Pada kelompok pertama, Santoso (1996) menyatakan bahwa mereka telah berhasil mengisolasi beberapa fungi dari pohon Aquilaria spp. yang terinfeksi adalah: oxyporus Fusarium, F. bulbigenium dan F. laseritium. Dalam kasus 2 dan 3 muncul hipotesis yang menyatakan bahwa cedera dapat mendorong munculnya proses penyembuhan pohon yang menghasilkan gaharu. Tapi program masih membutuhkan pembuktian hipotesis.
Gaharu kualitas nasional Indonesia ditentukan dalam SNI 01-5009.1-1999 Gaharu. Dalam SNI dibagi menjadi kualitas aloeswood / gaharu / kualitas gaharu kelas 13 terdiri dari:

Hasil gaharu dibagi menjadi 3 kelas Kualitas (Mutu Utama = yang setara dengan mutu super; Mutu Pertama = setara dengan mutu AB; dan kualitas setara dengan kualitas super Kedua = Sabah).

Kemedangan terbagi menjadi 7 kelas kualitas (mulai dari mutu Pertama = TGA/TK1 kualitas setara dengan kualitas Ketujuh = setara dengan kualitas M3), dan

Abu gaharu dibagi dalam 3 kelas kualitas (mutu Utama, Pertama dan Kedua).
Pada kenyataannya dalam perdagangan gaharu, pembagian kualitas gaharu tidak seragam antara daerah satu sama lain, walaupun SNI 01-5009.1-1999 Gaharu. Sebagai contoh, di Kalimantan Barat disepakati bahwa 9 dari kualitas kualitas Super A (terbaik) sampai kualitas kemedangan kropos (terburuk). Sementara di Kalimantan Timur dan Riau, para pengusaha setuju gaharu 8 jenis mutu, mulai dari mutu super A (terbaik) sampai kualitas kemedangan (terburuk). Penetapan standar di lapangan tidak seragam karena adanya dimungkingkan SNI Gaharu sejauh ini tidak banyak yang diketahui dan dimanfaatkan oleh para pedagang dan kolektor. Selain itu, sebagai SNI-SNI hasil hutan lainnya, penerapan SNI Gaharu masih bersifat sukarela (sukarela), di mana tidak ada kewajiban untuk menegakkan.
Karena kelangkaan pohon penghasil gaharu berdiri di COP (Konferensi Para Pihak) ke - 9 CITES (Konvensi Perdagangan Internasional Endangered Species of Wild Flora dan Fauna) di Fort Lauderdale, Florida, Amerika Serikat (7-18 November 1994) para peserta konferensi atas usulan India menerima proposal aplikasi menghasilkan spesies lidah buaya (A. malaccensis) dalam CITES Appendix II. Jadi, dalam waktu 90 hari penerimaan / penetapan proposal tersebut, perdagangan spesies tersebut harus dilakukan dengan prosedur CITES.
Tapi masalahnya, sampai sekarang gaharu diperdagangkan dalam bentuk lembaran, keripik, bubuk, lidah dan destilat produk akhir seperti chopstick, pensil, parfum, dll tidak dapat / sulit dibuktikan apakah gaharu tersebut dihasilkan oleh jenis A. malaccensis atau dari spesies lain. Untuk mengatasi masalah ini, akhirnya mengadopsi kebijakan yang baik pengekspor dan negara-negara penerima tetap menerapkan prosedur CITES untuk setiap produk gaharu, terlepas dari apakah produk yang berasal dari spesies A. malaccensis atau tidak. Hal ini karena sebagian besar populasi spesies penghasil gaharu di alam adalah posisi terancam. Diharapkan spesies penghasil gaharu dapat diselamatkan populasi.

Penutup

Gaharu mempertimbangkan nilai jual, layak dari upaya peningkatan peran Gaharu sebagai alternatif untuk komoditas penyumbang devisa di samping sektor kehutanan dari hasil hutan kayu. Untuk mendapatkan manfaat maksimal dari nilai tambah dalam memanfaatkan komoditas tersebut, perlu bantuan kepada produsen dalam negeri untuk memproses informasi lebih lanjut gaharu, misalnya dalam bentuk produk akhir (olahan) seperti destilat gaharu, parfum, sumpit, dll dengan perdagangan nilai lebih tinggi. Selain itu, untuk mendorong keseragaman dalam pengaturan kualita lapangan, keberadaan SNI gaharu seharusnya disosialisasikan di antara produsen, pedagang, dan konsumen. Selanjutnya, untuk menjamin keberlangsungan pasokan gaharu, perlu bimbingan kepada masyarakat upaya untuk panen gaharu dengan cara-cara yang mengabaikan aturan keberlanjutan. Akhirnya, untuk menghindari kepunahan gaharu, aturan atau prosedur CITES dalam perdagangan komoditas gaharu harus
diimplementasikan secara konsisten di lapangan oleh para pemangku kepentingan.

penulis: bagus pamungkas

No comments:

Post a Comment